Topaz Warim Putra, 3TB01, Arsitektur (Softskill)
Sumber :
·
http://www.penataanruang.com/ruang-terbuka-hijau.html
·
http://www.bkprn.org/peraturan/the_file/permen05-2008.pdf
http://werdhapura.penataanruang.net/artikel-bipr/145-rtrw-kota-sebagai-dasar-pembangunan-dan-pengembangan-kota
·
http://www.penataanruang.net/detail_b.asp?id=2528
·
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/248785-lima-kota-paling-hijau-di-indonesia
Dalam UU No. 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang disebutkan, jumlah RTH di setiap kota harus sebesar
30 persen dari luas kota tersebut. Arsitek Landsekap/ Majelis Ikatan Arsitektur
Landsekap Indonesia (IALI) Ning Purnomohadi dalam program Selamat Pagi
Nusantara di TVRI, Rabu (2/7) mengatakan, RTH perkotaan adalah bagian dari
ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman
dan vegetasi.
Ning Purnomohadi
menuturkan, ketentuan luasan 30 persen RTH di setiap perkotaan merupakan hasil
kesepakatan dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil
(1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesberg, Afrika Selatan 10 tahun.
Definisi dan Pengertian
Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka Hijau
(RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan
yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna
mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH
dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan
wilayah perkotaan tersebut.
Berdasarkan bobot
kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi:
a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami,
kawasan lindung) dan
b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan
(pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman,
Berdasarkan sifat dan
karakter ekologisnya, RTH diklasi-fikasi menjadi:
a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan
b) bentuk RTH jalur (koridor, linear),
Berdasarkan penggunaan
lahan RTH atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi:
a) RTH kawasan perdagangan,
b) RTH kawasan perindustrian,
c) RTH kawasan permukiman,
d) RTH kawasan per-tanian, dan
e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti
pemakaman, hankam, olah raga, alamiah.
Berdasarkan status
kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi:
a) RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada
lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh peme-rintah (pusat, daerah),
dan
b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang
berlokasi pada lahan-lahan milik privat.
Fungsi dan Manfaat
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
RTH, baik RTH publik
maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan
fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitek-tural, sosial, dan fungsi
ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat
dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepenting-an, dan keberlanjutan kota.
RTH berfungsi ekologis,
yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan
satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu
wilayah kota, seperti RTH untuk per-lindungan sumberdaya penyangga kehidupan
manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar. RTH untuk
fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung
dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat
berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti
untuk ke-indahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.
Manfaat RTH berdasarkan
fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat
tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga),
kenyamanan fisik (teduh, segar), keingin-an dan manfaat tidak langsung
(berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan
konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.
Pola dan Struktur
Fungsional
Pola RTH kota merupakan
struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional (ekologis, sosial,
ekonomi, arsitektural) antar komponen pemben-tuknya.
Pola RTH terdiri dari:
a) RTH struktural,
b) RTH non struktural
RTH struktural
merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsi-onal antar komponen
pembentuknya yang mempunyai pola hierarki plano-logis yang bersifat
antroposentris. RTH tipe ini didominasi oleh fungsi-fungsi non ekologis dengan
struktur RTH binaan yang berhierarkhi. Contohnya adalah struktur RTH
berdasarkan fungsi sosial dalam melayani kebutuhan rekreasi luar ruang (outdoor
recreation) penduduk perkotaan seperti yang diperlihatkan dalam urutan
hierakial sistem pertamanan kota (urban park system) yang dimulai dari taman
perumahan, taman lingkungan, taman ke-camatan, taman kota, taman regional,
dst). RTH non struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan
fungsional antar komponen pem-bentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola
hierarki planologis karena bersifat ekosentris. RTH tipe ini memiliki fungsi
ekologis yang sangat dominan dengan struktur RTH alami yang tidak berhierarki.
Contohnya adalah struktur RTH yang dibentuk oleh konfigurasi ekologis bentang
alam perkotaan tersebut, seperti RTH kawasan lindung, RTH perbukitan yang
terjal, RTH sempadan sungai, RTH sempadan danau, RTH pesisir.
Untuk suatu wilayah
perkotaan, maka pola RTH kota tersebut dapat dibangun dengan mengintegrasikan
dua pola RTH ini berdasarkan bobot tertinggi pada kerawanan ekologis kota
(tipologi alamiah kota: kota lembah, kota pegunungan, kota pantai, kota pulau,
dll) sehingga dihasilkan suatu pola RTH struktural.
Elemen Pengisi RTH
RTH dibangun dari
kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan
disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi
yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan
badan-badan air, dll) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang
selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda.
Untuk keberhasilan
rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria (a)
arsitektural dan (b) hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus
menjadi bahan pertimbangan dalam men-seleksi jenis-jenis yang akan ditanam.
Persyaratan umum
tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan:
a) Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga
kota
b) Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal
(tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar)
c) Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme)
d) Perakaran dalam sehingga tidak mudah
tumbang
e) Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai
hias dan arsitektural
f) Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan
kualitas lingkungan kota
g) Bibit/benih mudah didapatkan dengan harga
yang murah/terjangkau oleh masyarakat
h) Prioritas menggunakan vegetasi
endemik/lokal
i) Keanekaragaman hayati
Jenis tanaman endemik
atau jenis tanaman lokal yang memiliki keunggulan tertentu (ekologis, sosial
budaya, ekonomi, arsitektural) dalam wilayah kota tersebut menjadi bahan
tanaman utama penciri RTH kota tersebut, yang selanjutnya akan dikembangkan
guna mempertahankan keanekaragaman hayati wilayahnya dan juga nasional.
Teknis Perencanaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Dalam rencana
pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4
(empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu
a) Luas
RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan di-tentukan secara
komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu:
1) Kapasitas atau daya dukung alami wilayah
2) Kebutuhan per kapita (kenyamanan,
kesehatan, dan bentuk pela-yanan lainnya)
3) Arah dan tujuan pembangunan kota
RTH berluas minimum
merupakan RTH berfungsi ekologis yang ber-lokasi, berukuran, dan berbentuk
pasti, yang melingkup RTH publik dan RTH privat. Dalam suatu wilayah perkotaan
maka RTH publik harus berukuran sama atau lebih luas dari RTH luas minimal, dan
RTH privat merupakan RTH pendukung dan penambah nilai rasio terutama dalam
meningkatkan nilai dan kualitas lingkungan dan kultural kota.
b) Lokasi lahan kota yang potensial dan
tersedia untuk RTH
c) Sruktur dan pola RTH yang akan dikembangkan
(bentuk, konfigurasi, dan distribusi)
d) Seleksi tanaman sesuai kepentingan dan
tujuan pembangunan kota.
Lima
Kota Paling Hijau di Indonesia
Peringkat atas adalah
Surabaya. Kota ini berhasil melipatgandakan ruang terbuka hijau
Lima kota dinobatkan
yang sebagai daerah terhijau di Indonesia untuk 2011. Lomba bertajuk Indonesia
Green Region Award (IGRA) ini diselenggarakan oleh Kantor Berita Radio KBR68H
bersama Majalah SWA untuk kedua kalinya tahun ini.
Dari 36 peserta IGRA
2011, dihasilkan 10 finalis yakni Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Yogyakarta
(Daerah Istimewa Yogyakarta), Kota Denpasar (Bali), Kota Palangkaraya
(Kalimantan Tengah), Kota Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), Kota
Payakumbuh (Sumatera Barat), Kabupaten Kuningan (Jawa Barat), Kabupaten Berau
(Kalimantan Timur), Kabupaten Jepara (Jawa Tengah), dan Kabupaten Gorontalo
(Gorontalo). Dari hasil seleksi yang dilakukan dewan juri, lima kota/ kabupaten
yang menjadi pemenang adalah Surabaya, Yogyakarta, Denpasar, Palangkaraya, dan
Banda Aceh.
Para finalis ini
sebelumnya diundang untuk melakukan presentasi di hadapan dewan juri.
Sayangnya, satu perwakilan dari finalis tidak bisa hadir. Sonny Keraf, salah
seorang juri IGRA 2011, berharap semoga ajang ini dapat meningkatkan keseriusan
pemerintah dalam upaya menjaga lingkungan yang juga melibatkan masyarakat.
“Hal yang menarik saya
tangkap dalam berbagai kasus di ajang ini adalah upaya hukum dalam arti
pemaksaan yang top down ternyata tidak efektif. Hukum hanya bisa efektif kalau
bottom up yang mana melalui proses kesepakatan pemerintah dengan masyarakat
yang kemudian bisa diformalkan menjadi aturan bersama,” kata mantan Menteri
Lingkungan hidup ini.
Kalau dilihat 5 terbaik
dalam IGRA 2011, tampak keseriusan mereka dalam mengeksekusi program yang
terkait pelestarian dan penyelamatan lingkungan hidup. Surabaya misalnya, di
tangan Walikota Ir. Tri Rismaharini,
Kota Pahlawan ini yang tadinya hanya memilik ruang terbuka hijau 9,6% dari total
wilayah kota, kini bertambah menjadi 20, 24%. Taman-taman dibangun, aktivitas
warga dipusatkan pada lokasi wisata terbuka ini. Hal menarik yang layak dicatat
lainnya, ia berhasil mengembalikan 2.500 hektar lahan di kawasan Surabaya Timur
yang dijadikan lokasi usaha sesuai dengan fungsi awalnya sebagai kawasan
konservasi.
Kemudian Denpasar, Sony
menilai, kota itu benar-benar melaksanakan program sebagai kota sepeda. “Itu
bisa menjadi kebijakan Denpasar yang mengutamakan sepeda daripada motor atau
kendaraan lainnya,” tutur Sony. Denpasar pun cukup maju dalam pengolahan
sampahnya. Hal ini bisa dilihat, Pemkot Denpasar sudah cukup lama mewajibkan
hotel-hotel di kota ini mengelola sampahnya, termasuk karena partisipasi
masyarakat.
Demikian juga dengan
Kota Yogyakarta, prestasi yang diraih dalam rangka penyelamatan lingkungan, di
antaranya, melalui program 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle) mampu mengurangi
sampah sebesar 28,3% dari total sampah harian kota ini sebanyak 242 ton per hari,
sudah merealisasikan pembuatan kurang lebih 250 ribu lubang biopori di seluruh
Kota Yogyakarta dari target 1 juta lubang biopori, melakukan pembebasan tanah
25 kelurahan (55% dari 45 kelurahan) untuk public space (taman kota),
masing-masing seluas 500 m2, dan merevitalisasi kawasan sungai sebagai wisata
air.
Sementara itu, Pemkot
Palangkaraya berhasil menjadikan hutan kota rawa gambut alami yang terluas di
Indonesia, menyediakan kawasan hutan sebagai laboratorium hutan alam gambut
yang dikelola oleh Universitas Palangkaraya, menjalankan program Hutan Kelola
Masyarakat Lokal, pencadangan hutan kelurahan dan membentuk tim serbu api
kelurahan.