Minggu, 04 Januari 2015

Ruang Terbuka Hijau

Topaz Warim Putra, 3TB01, Arsitektur (Softskill)

Sumber :
·         http://www.penataanruang.com/ruang-terbuka-hijau.html
·         http://www.bkprn.org/peraturan/the_file/permen05-2008.pdf http://werdhapura.penataanruang.net/artikel-bipr/145-rtrw-kota-sebagai-dasar-pembangunan-dan-pengembangan-kota
·         http://www.penataanruang.net/detail_b.asp?id=2528
·         http://nasional.news.viva.co.id/news/read/248785-lima-kota-paling-hijau-di-indonesia


Dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan, jumlah RTH di setiap kota harus sebesar 30 persen dari luas kota tersebut. Arsitek Landsekap/ Majelis Ikatan Arsitektur Landsekap Indonesia (IALI) Ning Purnomohadi dalam program Selamat Pagi Nusantara di TVRI, Rabu (2/7) mengatakan, RTH perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi.

Ning Purnomohadi menuturkan, ketentuan luasan 30 persen RTH di setiap perkotaan merupakan hasil kesepakatan dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesberg, Afrika Selatan 10 tahun.

Definisi dan Pengertian Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.

Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi:
a)    bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan
b)    bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman,

Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya, RTH diklasi-fikasi menjadi:
a)    bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan
b)    bentuk RTH jalur (koridor, linear),

Berdasarkan penggunaan lahan RTH atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi:
a)    RTH kawasan perdagangan,
b)    RTH kawasan perindustrian,
c)    RTH kawasan permukiman,
d)    RTH kawasan per-tanian, dan
e)    RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah.

Berdasarkan status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi:
a)    RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh peme-rintah (pusat, daerah), dan
b)    RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat.

Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH)
RTH, baik RTH publik maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitek-tural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepenting-an, dan keberlanjutan kota.

RTH berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk per-lindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar. RTH untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk ke-indahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.

Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), keingin-an dan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.

Pola dan Struktur Fungsional
Pola RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional (ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural) antar komponen pemben-tuknya.
Pola RTH terdiri dari:
a)    RTH struktural,
b)    RTH non struktural

RTH struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsi-onal antar komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki plano-logis yang bersifat antroposentris. RTH tipe ini didominasi oleh fungsi-fungsi non ekologis dengan struktur RTH binaan yang berhierarkhi. Contohnya adalah struktur RTH berdasarkan fungsi sosial dalam melayani kebutuhan rekreasi luar ruang (outdoor recreation) penduduk perkotaan seperti yang diperlihatkan dalam urutan hierakial sistem pertamanan kota (urban park system) yang dimulai dari taman perumahan, taman lingkungan, taman ke-camatan, taman kota, taman regional, dst). RTH non struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pem-bentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris. RTH tipe ini memiliki fungsi ekologis yang sangat dominan dengan struktur RTH alami yang tidak berhierarki. Contohnya adalah struktur RTH yang dibentuk oleh konfigurasi ekologis bentang alam perkotaan tersebut, seperti RTH kawasan lindung, RTH perbukitan yang terjal, RTH sempadan sungai, RTH sempadan danau, RTH pesisir.

Untuk suatu wilayah perkotaan, maka pola RTH kota tersebut dapat dibangun dengan mengintegrasikan dua pola RTH ini berdasarkan bobot tertinggi pada kerawanan ekologis kota (tipologi alamiah kota: kota lembah, kota pegunungan, kota pantai, kota pulau, dll) sehingga dihasilkan suatu pola RTH struktural.

Elemen Pengisi RTH
RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air, dll) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda.

Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria (a) arsitektural dan (b) hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam men-seleksi jenis-jenis yang akan ditanam.

Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan:
a)    Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota
b)    Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar)
c)    Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme)
d)    Perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang
e)    Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural
f)     Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota
g)    Bibit/benih mudah didapatkan dengan harga yang murah/terjangkau oleh masyarakat
h)    Prioritas menggunakan vegetasi endemik/lokal
i)      Keanekaragaman hayati

Jenis tanaman endemik atau jenis tanaman lokal yang memiliki keunggulan tertentu (ekologis, sosial budaya, ekonomi, arsitektural) dalam wilayah kota tersebut menjadi bahan tanaman utama penciri RTH kota tersebut, yang selanjutnya akan dikembangkan guna mempertahankan keanekaragaman hayati wilayahnya dan juga nasional.

Teknis Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Dalam rencana pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu
a)    Luas RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan di-tentukan secara komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu:
1)    Kapasitas atau daya dukung alami wilayah
2)    Kebutuhan per kapita (kenyamanan, kesehatan, dan bentuk pela-yanan lainnya)
3)    Arah dan tujuan pembangunan kota

RTH berluas minimum merupakan RTH berfungsi ekologis yang ber-lokasi, berukuran, dan berbentuk pasti, yang melingkup RTH publik dan RTH privat. Dalam suatu wilayah perkotaan maka RTH publik harus berukuran sama atau lebih luas dari RTH luas minimal, dan RTH privat merupakan RTH pendukung dan penambah nilai rasio terutama dalam meningkatkan nilai dan kualitas lingkungan dan kultural kota.

b)    Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH
c)    Sruktur dan pola RTH yang akan dikembangkan (bentuk, konfigurasi, dan distribusi)
d)    Seleksi tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota.



Lima Kota Paling Hijau di Indonesia
Peringkat atas adalah Surabaya. Kota ini berhasil melipatgandakan ruang terbuka hijau


Lima kota dinobatkan yang sebagai daerah terhijau di Indonesia untuk 2011. Lomba bertajuk Indonesia Green Region Award (IGRA) ini diselenggarakan oleh Kantor Berita Radio KBR68H bersama Majalah SWA untuk kedua kalinya tahun ini.

Dari 36 peserta IGRA 2011, dihasilkan 10 finalis yakni Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta), Kota Denpasar (Bali), Kota Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Kota Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), Kota Payakumbuh (Sumatera Barat), Kabupaten Kuningan (Jawa Barat), Kabupaten Berau (Kalimantan Timur), Kabupaten Jepara (Jawa Tengah), dan Kabupaten Gorontalo (Gorontalo). Dari hasil seleksi yang dilakukan dewan juri, lima kota/ kabupaten yang menjadi pemenang adalah Surabaya, Yogyakarta, Denpasar, Palangkaraya, dan Banda Aceh.

Para finalis ini sebelumnya diundang untuk melakukan presentasi di hadapan dewan juri. Sayangnya, satu perwakilan dari finalis tidak bisa hadir. Sonny Keraf, salah seorang juri IGRA 2011, berharap semoga ajang ini dapat meningkatkan keseriusan pemerintah dalam upaya menjaga lingkungan yang juga melibatkan masyarakat.

“Hal yang menarik saya tangkap dalam berbagai kasus di ajang ini adalah upaya hukum dalam arti pemaksaan yang top down ternyata tidak efektif. Hukum hanya bisa efektif kalau bottom up yang mana melalui proses kesepakatan pemerintah dengan masyarakat yang kemudian bisa diformalkan menjadi aturan bersama,” kata mantan Menteri Lingkungan hidup ini.

Kalau dilihat 5 terbaik dalam IGRA 2011, tampak keseriusan mereka dalam mengeksekusi program yang terkait pelestarian dan penyelamatan lingkungan hidup. Surabaya misalnya, di tangan Walikota  Ir. Tri Rismaharini, Kota Pahlawan ini yang tadinya hanya memilik ruang terbuka hijau 9,6% dari total wilayah kota, kini bertambah menjadi 20, 24%. Taman-taman dibangun, aktivitas warga dipusatkan pada lokasi wisata terbuka ini. Hal menarik yang layak dicatat lainnya, ia berhasil mengembalikan 2.500 hektar lahan di kawasan Surabaya Timur yang dijadikan lokasi usaha sesuai dengan fungsi awalnya sebagai kawasan konservasi.

Kemudian Denpasar, Sony menilai, kota itu benar-benar melaksanakan program sebagai kota sepeda. “Itu bisa menjadi kebijakan Denpasar yang mengutamakan sepeda daripada motor atau kendaraan lainnya,” tutur Sony. Denpasar pun cukup maju dalam pengolahan sampahnya. Hal ini bisa dilihat, Pemkot Denpasar sudah cukup lama mewajibkan hotel-hotel di kota ini mengelola sampahnya, termasuk karena partisipasi masyarakat.

Demikian juga dengan Kota Yogyakarta, prestasi yang diraih dalam rangka penyelamatan lingkungan, di antaranya, melalui program 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle) mampu mengurangi sampah sebesar 28,3% dari total sampah harian kota ini sebanyak 242 ton per hari, sudah merealisasikan pembuatan kurang lebih 250 ribu lubang biopori di seluruh Kota Yogyakarta dari target 1 juta lubang biopori, melakukan pembebasan tanah 25 kelurahan (55% dari 45 kelurahan) untuk public space (taman kota), masing-masing seluas 500 m2, dan merevitalisasi kawasan sungai sebagai wisata air.

Sementara itu, Pemkot Palangkaraya berhasil menjadikan hutan kota rawa gambut alami yang terluas di Indonesia, menyediakan kawasan hutan sebagai laboratorium hutan alam gambut yang dikelola oleh Universitas Palangkaraya, menjalankan program Hutan Kelola Masyarakat Lokal, pencadangan hutan kelurahan dan membentuk tim serbu api kelurahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar